Dikenal sebagai algojo para koruptor, Mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar gak segan beri vonis 2 kali lebih berat.

Duka mendalam bagi dunia hukum Indonesia. Mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar meninggal dunia karena sakit jantung dan paru-paru 28 februari lalu.

Dikenal sangat tegas, jujur, dan bersih dari suap, Ia gak pernah ragu memvonis koruptor lebih berat.

Koruptor yang diadili oleh Artidjo pasti ciut karena track record-nya.

Menutup usia di 72 tahun, selama masa hidupnya Ia banyak menangani kasus korupsi besar termasuk kasus korupsi Presiden RI-2, Soeharto.

Dari mahasiswa hukum hingga menjadi Hakim Agung

Pria kelahiran 22 Mei 1948 ini mengenyam pendidikan hukumnya di UII Yogyakarta 1976.

Ia juga dikenal aktif dalam berbagai organisasi pas masih jadi mahasiswa di UII.

Sebagai orang nomor satu, ia juga vokal ketika jadi advokat di LBH Yogyakarta 1983.

Pendidikannya dilanjutkan di Master of Laws di Nort Western University, Chicago dan Universitas Diponegoro untuk gelar Doktor Ilmu Hukumnya pada 2007.

Ia juga sempat pergi ke New York, untuk pelatihan jadi pengacara Hak Asasi Manusia (HAM) di Columbia University.

Kembalinya ke Indonesia, Ia mendirikan kantor hukum ‘Artidjo Alkostar and Associates‘ sampai tahun 2000.

Hingga masa Reformasi, kala itu namanya disebut-sebut jadi Menteri Kehakiman.

Namanya lolos di DPR dan jadi hakim agung selama 18 tahun sampai Mei 2018.

Jadi sorotan, opininya sering berbeda dengan hakim lain. Ancaman juga kerap datang kayak waktu Ia menangani korupsi yayasan dengan terdakwa mantan Presiden Soeharto.

baca juga: Kartu Keluarga Pakai QR Code! Begini caranya gantinya

Beberapa deretan kasus korupsi yang pernah ditangani

Selama di Mahkamah Agung, dalam satu tahun Ia dapat menyelesaikan 1.095 perkara. Artinya dalam satu tahun Ia menangani 19.708 perkara.

Beberapa kasus besar ditanganinya hingga memberi vonis dua kali lebih berat dari pengadilan pertama.

Kasus Angelina Sondakh yang mengorupsi proyek pembangunan lanjutan pendidikan di Hambalang, akui menerima US$ 2.000 atau sekitar Rp 26,6 dari Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) saat itu.

Hakim Artidjo memberi menjadi 12 tahun vonis yang awalnya dari 4 tahun 6 bulan.

Sama seperti kasus sebelumnya, Anas Urbaningrum juga dikaitkan dengan kasus proses Hambalang. Awalnya pada vonis tingkat pertama ia dijatuhi hukuman penjara 8 tahun.

Alih-alih dapat diskon, berakhir di vonis tingkat kasasi ia dijatuhi hukuman penjara jadi 14 tahun oleh hakim Artidjo.

Kasus lainnya, Ratu Atut Chosiyah, mantan gubernur Banten, yang terbukti korupsi dengan mengatur proses penganggaran pengadaan alkes di Banten dan mengakibatkan kerugian Rp 79 Miliar.

Awalnya, di pengadilan pertama Ratu Atut divonis 4 tahun. Kemudian Hakin Artidjo menambah hukuman menjadi 7 tahun.

Gak cuma kasus-kasus besar, Ia juga dikenal adil dalam peradilan. Ia pernah membebaskan seorang Office Boy, Hendra Saputra yang pernah dijadikan boneka korupsi.

Dalam kasus ini, tersangka utamanya adalah Riefan Avrian sebagai Dirut PT Imaji Media, menunjuk Hendra menjadi Direktur Utama dan tanda tangan kontrak.

Padahal, latar belakangnya gak memenuhi posisi apapun.

baca juga: Prince Harry Bilang Media Inggris ‘Toxic’, Ini Penjelasannya!

“Saya ingin sekali mengukum mati koruptor,” ujar Artidjo.

Dalam sebuah wawancara dengan majalah Tempo, Ia menjelaskan konstruksi hukum seringkali gak pas, dikaitkan dengan faktor di luar hukum.

Makanya, sulit buatnya untuk menghukum koruptor mati.

“Pasal ini dikaitkan lain dengan faktor lain di luar hukum. Misalnya bencana alam dan seorang koruptor mengulangi perbuatannya. Itu kan jarang. Dengan demikian, tidak akan tercapai hukuman mati itu, karena konstruksi hukumnya salah,” jelas Artidjo.

Diminta jadi dewan pengawas KPK Oleh Presiden Jokowi

Di akhir masa pensiunnya, Ia mengaku hanya ingin mengurus kambing di rumahnya. Namun, akhirnya ia mengiyakan permohonan Presiden Jokowi menjadi Dewan Pengawas KPK.

“tidak boleh egoistis, negara membutuhkan,” jelasnya.