Tantangan aneh tersebut jadi sorotan sejak diabadikan ke akun Instagram, @thisdressagain

Tantangan aneh kembali bersirkulasi di jagat maya.

Kali ini tantangan tersebut digagas merk Wool& dan dipopulerkan oleh seorang perempuan asal Amerika Serikat bernama Sarah Robbins-Cole.

Dengan sebutan 100 Days Dress Challenge, tantangan tersebut mengharusnya pelakunya untuk mengenakan 1 baju yang sama selama 100 hari.

Baca juga: AGLXY dan Staple Berkolaborasi, Hadirkan Koleksi Baru yang Penuh Grafis

Tantangan aneh berhadiah

Dikutip dari Mirror UK, tantangan tersebut ditujukan pada 250 perempuan, salah satunya Sarah.

Partisipan yang berhasil mengenakan baju tersebut selama 100 hari penuh akan mencapatkan hadiah voucher belanja 100 dolar AS atau Rp 1,4 juta untuk membeli pakaian di situs Wool&.

Meski begitu, Sarah mengikuti tantangan ini karena alasan lain.

Ia mengenakan gaun hitam dari wol merino yang sama sejak 16 September lalu untuk membiasakan gaya hidup tanpa fast fashion demi menyelamatkan bumi.

Kesehariannya dengan baju yang sama pun diabadikan lewat akun Instagram dengan nama pengguna @thisdressagain; mulai dari aktivitas kerja, bersantai, hingga merayakan natal, semuanya dilakukan dengan baju yang sama.

Meski digunakan setiap hari, baju tersebut juga dicuci secara rutin dan dikeringkan semalaman. Supaya tidak membosankan, Sarah juga kerap memadukan dress tersebut dengan outer atau aksesori lain.

Yang membuatku terkejut, memakai gaun yang sama selama 100 hari berturut-turut tidak mengubah apa pun dari hidupku. Sebaliknya, ini (tantangan) justru menginspirasiku untuk melangkah lebih jauh dan tidak membeli pakaian atau aksesori baru,” kata perempuan berusia 52 tahun itu seperti dikutip dari Mirror UK.

Baca juga: 10 Prediksi The Simpsons yang Jadi Kenyataan; Dari Donald Trump, Game of Thrones Hingga Krisis 2020!

Tentang “fast fashion”

Istilah fast fashion mengacu pada model pakaian yang terus berganti secara cepat.

Praktik tersebut pun berimbas negatif pada banyak hal.

Demi memenuhi kebutuhan pasar, pengolahan material mentah digenjot untuk memenuhi kebutuhan pasar. Hal ini berimbas pada produksi sampah secara berlebih tiap tahunnya.

Waktu yang singkat dan biaya produksi yang rendah juga jadi imbas fast fashion. Banyak pekerja di negara dunia ketiga seperti Kamboja, India, Bangladesh dan Indonesia harus menerima upah rendah demi memenuhi kebutuhan pasar.