2 tahun terakhir ini mungkin sering mendengar atau melihat kampanye soal “Local Pride” atau “Local Heroes” yang marah menempel pada brand yang terlahir dari Indonesia. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata lokal itu sendiri dapat diartikan sebagai asal suatu tempat (tentang pembuatan, produksi, tumbuh, hidup, dan sebagainya).

Kata lokal ini sendiri juga sering dikaitkan dengan kebudayaan setempat yang ada. Namun, predikat “lokal” ini juga mempunyai impact yang cukup besar dalam menggiring opini publik, tidak hanya ke arah yang positif namun bisa juka ke arah yang negatif. Bersama dengan Laze kami akan membedah efek dari predikat kata “lokal” yang cenderung memberikan batasan dan mengurung produk (baik musisi, brand, seniman, dan lainnya) Indonesia.

Predikat “Lokal” Membatasi Pelaku Industri

Kata (predikat) lokal itu membatasi pelaku industrinya entah lo musisi, seniman, brand, ataupun perusahaan,” jelas Laze saat ditanyai pandangannya soal predikat lokal. Pada realitanya memang predikat seperti itu terjadi, contoh yang paling mudah ketika brand yang memiliki predikat “lokal brand” berani memasangkan harga IDR 500.000 untuk sebuah t-shirt. Stigma dari masyarakat mungkin akan berkata “anjir, lokal brand harganya mahal amat,” hal itu akan berbeda jika sebuah brand tidak menyandang predikat apapun. Karena masyarakat memandang ini adalah “brand lokal” bukan brand as it is.

Kasus ini tidak hanya terjadi pada brand saja, praktek ini kerap terjadi pada festival musik yang mengundang artis internasional. Laze bercerita bahwa ia pernah bermain disebuah festival kemudian pada ruangannya hanya tertulis kata “lokal”. “Pemisahan ini terjadi yang kaya, misalkan gue Dua Lipa atau Honne nih, terus ke backstage gue mau liat artis Indonesia mana ya? Hah? Apaan nih kok tulisannya lokal doang. Mungkin kalo di situ tulisannya Dhipa Barus atau Nayaka gue lebih yang kaya i wanna know these artist do.” Tutur Laze.

Berbeda dengan festival di negara tetangga, waktu itu nggak ada barrier antara artis internasional dan artis asal sana, yang terjadi adalah mereka bisa berkomunikasi dan akan sangat mungkin akan ada karya bareng. Mungkin hal itu juga yang terjadi saat Drake dateng ke UK akhirnya bisa ketemu rapper-rapper asal sana.” tambahnya

Stigma terhadap kata “lokal” tidak hanya terjadi pada masyarakat saja, namun kata ini juga digunakan oleh oknum-oknum event organizer yang secara tidak langsung mengecilkan produk asli Indonesia.

Hal ini sangat membatasi dan bisa mengurangi opportunity musisi untuk menjadi internasional atau lebih dari lokal

Mungkin kampanye yang sedang marak beredar soal “lokal pride” saat ini adalah bahwa kita memiliki urgensi akan krisisnya nasionalisme, namun pertanyaannya mau sampai kapan predikat yang memiliki dampak “mengecilkan” pelaku di dalamnya akan dipakai? Atau kapan urgensi ini akan berakhir?

Kita harus memulai mencintai produk Indonesia tanpa perlu ada embel-embel lain di dalamnya, jika kita masih menggunakan “local brand“, “local heroes“, atau “local pride” mainset kita akan tetap ada di situ dan membatasi setiap pelaku di dalamnya.

(Photo by: Neighbourlist)