Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) mengharamkan penggunaan cryptocurrency alias uang kripto sebagai mata uang.

Melansir CNBCIndonesia, keputusan itu diambil dalam Forum Itjima Ulama yang digelar di Hotel Sultan, Kamis (11 November).

Fatwa MUI : uang kripto haram, aset digital tidak sah

Berdasarkan keterangan ketua MUI Asrorun Niam Soleh, adapun keputusan itu diambil dengan sejumlah alasan.

Dari musyawarah yang sudah ditetapkan, ada tiga diktum hukum. Pertama penggunana cryptocurrency sebagai mata uang hukumnya haram karena gharar, dharar, dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2019 dan Peraturan BI Nomor 17 Tahun 2015,” tutur Asrorun dalam forum Itjima Ulama.

Selain itu, MUI juga menyebut uang kripto sebagai komoditi atau aset digital tidak sah diperjualbelikan. Pasalnya kripto mengandung gharar, dharar, dan qimar.

Resmi, Fatwa MUI : Uang Kripto Haram!

Asrorun juga menyebut hal itu tidak memenuhi syarat sil’ah secara syar’i, yaitu berwujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik dan bisa diserahkanke pembeli.

Kendati demikian MUI menyebut kripto sebagai komoditi atau aset dengan sejumlah syarat sah untuk diperjualbelikan.

Cryptocurrency sebagai komoditi/aset yang memenuhi syarat sebagai sil’ah dan memiliki underlying serta memiliki manfaat yang jelas sah untuk diperjualbelikan,” imbuhnya.

Begini hukum uang kripto menuru NU Jatim

Sebelumnya Pengurus Nahdlatul Ulama Jawa Timur (NU Jatim) juga sudah mengeluarkan fatwa haram terkait penggunaan uang kripto.

Ketua PW LBM NU Jatim Ahmad Ashyar Sofwan menjelaskan alasan utama pihaknya mengharamkan penggunaan uang kripto karena tidak memenuhi kaidah komoditas yang diperdagangkan.

Begini hukum uang kripto menuru NU Jatim
via NU Jatim Online

 “Terkait cryptocurrency, NU Jatim sepakat itu bukan komoditas atau barang dagangan,” jelas Ahsyar seperti dilansir Live Streaming Kompas TV.

Menurutnya, uang kripto sama sekali tidak memenuhi syarat sebagai komoditas. Adapun syarat tersbut yakni memiliki wujud nyata. “Jadi sebuah perdaganganan harus barang, hanya fisik wujud yang nyata. Setelah ada sifat yang suci, bermanfaat, diserahterimakan. Sementara kalau tidak ada barangnya bagaimana,” lanjut Ahsyar,

Adapun syarat itu tidak bisa ditoleransi dalam hukum syariah.

Gimana nih para holders? Lepas apa gas terus?