Komunitas jadi kunci movement skena sneakers Indonesia

Tak banyak yang tau bahwa skena sneakers di Indonesia sudah bermula sebelum ada social media.

Jejaknya bisa ditelusuri di periode awal dekade 2000-an. Ketika itu, sneakers masih jadi bagian sub-culture yang luput dari sorotan publik. Pergerakan awalnya pun digagas kelompok kecil.

Namun tanpa mereka tau, apa yang ciptakan berhasil jadi salah satu bukti kunci bagaimana komunitas berperan penting dalam pertumbuhan skena sneakers Indonesia.

Baca juga: Sejarah Streetwear Indonesia Bermula dari Hobi Surfing dan Mobil Angkut Ikan

“Tempat nongkrong itu selalu jadi yang ngerekam bagaimana pergerakan dimulai…”

Max Suriaganda (founder Footurama), Aryadi Jaya (co founder DailyWhatNot) dan street artist Ones jadi saksi bagaimana pergerakan ini tercipta.

Ketika itu, skena sneakers Indonesia lahir tak jauh berbeda dengan negara-negara tetangga; berkat kepopuleran olah raga basket dan skateboard, serta musik era 90-an yang ketika itu sedang “gila-gilanya.”

Yang membedakan, ketika itu Indonesia masih nihil aktivitas. Belum ada sumber informasi yang kredibel, ataupun komunitas yang bisa jadi fondasi buat sub-culture ini ini berdiri.

Namun berbekal semangat yang sama, mereka menginisasi sesuatu yang belum pernah dibuat sebelumnya; a sneakers and art exhibition yang digelar di museum nasional Indonesia.

Tak disangka, gelaran tersebut sukses besar. Dengan ekspektasi awal pengunjung hanya 500 orang, pengunjung yang datang menembus angka 4.000 orang.

Respon positif tersebut seolah jadi bahan bakar buat komunitas kecil itu untuk melangkah level baru; menghadirkan Sneaker Pimps, sebuah sneaker event internasional, masuk ke Indonesia.

Kesuksesan tersebut pun berlanjut ketika Max, Adi dkk sepakat untuk membawa Sneaker Pimps masuk Indonesia.

Tak disangka, gelaran yang bermula dari kebiasaan nongkrong bareng tersebut jadi salah satu contoh sukses Sneaker Pimps. Bukan cuma menembus jumlah 13 ribu pengunjung, acara yang diadakan pada tahun 2006 tersebut juga mendatangkan sejumlah desainer sepatu dan seniman yang kini langganan unjuk gigi di skala global seperti Ewok, SBTG, Methamphibian, hingga Futura.

Tempat nongkrong itu selalu jadi yang ngerekam bagaimana pergerakan dimulai,” ujar Max.

Dan jadi tempat dimana pemikiran dan ide-ide muncul, bukan cuma (tentang) sneakers.”

/image/2006/04/sneaker-pimps-jakarta-19-thumb.jpg

Baca juga: The Waves, Dokumenter Perjalanan Sub-Kultur Indonesia dari Era 90-an Hingga Hari Ini

Youth culture dan skena sneakers Indonesia hari ini

Adi mengaku tak menyangka pergerakan di bidang sneakers dan streetwear yang dulu dijalani segelintir orang bisa berkembang hingga begitu masif seperti hari ini.

Gue nggak nyangka bisa ngeliat kolaborasi antara Dior dengan Stüssy! Gila gue nggak kebayang itu sama sekali!,” ujarnya. “Tapi ya, ternyata memang “nyambung!’

Gue juga nggak nyangka sneakers lokal bisa seheboh itu,” lanjut Adi.

Dan kalo gue ditanya apakah gue bangga apa engga melihat itu, ya gue bangga!

Untuk tau kisah selengkapnya, simak serial The Waves, yang tayang eksklusif di Vision+.