Mimimalism they said, sebuah konsep yang akan membantu orang untuk bisa mendapatkan ‘freedom‘. Memang kata tersebut sering juga identik dengan konsep pemahaman ‘less is more’. Belakangan ini, minimalsm sudah tidak terlalu banyak dibahas ataupun disinggung. Minimalsm seakan tenggelam dan kalah pamor dengan ‘noise‘ yang begitu banyak.

So the question are ;

  • Is it dead?
  • Is it still applicable? or it’s just too much

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, ada baiknya gua bahas latar belakang minimalsm.

The Minimalsm Trend

Kata ‘minimalsm‘ pertama kali popular di tahun 1965, meskipun ‘makna’ mendalam dalam kata tersebut belum jelas. Di masa itu, kata tersebut identik dengan ‘sebuah penghinaan’. Fast forward ke tahun 2016, ada sebuah film dokumenter yang tayang di Netflix.

Minimalism : A Documentary About Important Things, dokumenter tersebut mengisahkan Joshua Fields Millburn & Ryan Nicodemus yang berkeliling ke beberapa tempat untuk menemui orang-orang yang sudah menjalankan konsep hidup ‘minimalsm’ dan kenapa mereka pada akhirnya ‘menganut’ konsep tersebut, selain itu juga banyak pesan dan pengertian akan konsep ‘minimalism‘ yang dijabarkan.

Minimalism‘ adalah sebuah gaya hidup yang membantu orang untuk bisa mengurangi ‘konsumerisme’ dan berfikir tentang hal-hal yang bisa menambahkan ‘value* pada hidup mereka. Hal tersebut bisa dicapai dengan ‘membuang hal-hal’ yang mengganggu, dan membuat ‘ruang’ bagi hal yang lebih penting, baik dalam aspek kesehatan, hubungan, passion, pertumbuhan dan kontribusi.

Trend minimalsm ini terus berkembang di kalangan masyarakat, dan salah satunya adalah YouTuber @Matt D’Avella, yang merupakan orang dibalik film dokumenter tersebut.

2 Tahun setelah film dokumenter tersebut, Mat lewat video di channelnya merilis video ‘Why I Became A Minimalist‘. ‘Gua pikir as simple as, lulus kuliah lo kerja dan dengan uang yang lo dapat lo bisa beli barang yang bikin lo bahagia, tapi nyatanya tidak.’- begitu tutur Mat.

Dia menambahkan bahwa lo gak harus nunggu momen disaat lo udah bisa beli ini dan itu, melainkan lo bisa memilih untuk ‘happy’ dengan apa yang ada sekarang ini! ‘Setelah gua jadi ‘minimalist‘, gua gak mikir bahwa sukses itu selalu melulu related sama uang, rumah besar atau seberapa banyak barang yang lo punya. Melainkan melakukan pekerjaan yang gua ‘sukai’ dan menghabiskan waktu dengan keluarga’- tutup Mat di video tersebut.

Di tahun 2018, juga muncul sebuah buku berjudul Goodbye, Things : The New Japanese Minimalism. Buku karangan Fumio Sasaki bercerita tentang pengalamannya yang pada akhirnya memilih untuk menjadi seorang ‘minimalist’.

Image result for fumio sasaki goodbye things

Fumio Sasaki yang berusia 35 tahun pada saat itu tinggal disebuah apartemen di Nakameguro, Tokyo dan tempat ersebut penuh dengan begitu banyak barang yang ia rasa pada akhirnya menjadi ‘distraksi’ bagi dirinya. Pada akhirnya dia pindah ke apartement yang lebih kecil dan merubah gaya hidupnya menjadi minimalis dengan mengurangi jumlah barang yang dimiliki sampai ke titik ‘terendah’.

Di buku tersebut dia juga menjelaskan bahwa orang Jepang dulunya hanyak memiliki dua sampai tiga kimono bersih. Fumio juga mengutip quotes terkenal pada buku tersebut, dan quotes tersebut dari Tyler Durden di film Fight Club ;

“You buy furniture. You tell yourself, this is the last sofa I will ever need in my life. Buy the sofa, then for a couple years you’re satisfied that no matter what goes wrong, at least you’ve got your sofa issue handled. Then the right set of dishes. Then the perfect bed. The drapes. The rug. Then you’re trapped in your lovely nest, and the things you used to own, now they own you.

Now back to the main topic, is it still applicable in the year 2020? Let’s discuss.

Minimalism in 2020

Sebelum menjawab yes or no,  let’s talk about the current lifestyle. Di tahun 2019, ada artikel berjudul Budaya Konsumerisme, Kekuatan Sekaligus Tantangan bagi Perekonomian Indonesia. Pada artikel tersebut ada sebuah paragraf yang menarik perhatian gua, ini dia isi paragrafnya ;

Mereka yang sudah kalap akan berhasrat untuk membelinya walaupun bisa jadi saat barang sudah dalam genggaman, akan timbul rasa penyesalan. Misalnya, karena menyadari bahwa kualitas barang yang tidak sesuai ekspektasi atau karena barang tersebut bukan kategori kebutuhan mendesak untuk dibeli saat ini. Tabiat itu tak dapat dipungkiri di era konsumtif saat ini.’

Suka atau tidak, kata yang gua bold di atas sudah pasti pernah lo dan gua alami. ‘Kalap‘ dan ‘Menyesal‘, dan hal tersebut menjadi sebuah trend yang dianggap ‘ok’ oleh semua orang. Konsumerisme membawa kita kepada sebuah pemikiran ‘it’s ok to buy things, as long as we have the ability (money), tapi pertanyaannya adalah apakah hal tersebut ‘menambah value‘ di kehidupan lo?

Jawab masing masing. Kalau jawaban lo iya, stop sampai disini saja. Kalau lo menjawab tidak, lanjut di bawah

Dari beberapa hal yang sudah dituliskan diatas baik film dokumenter Minimalism : A Documentary About Important Things, YouTuber Mat D’Avella dan buku Goodbye, Things : The New Japanese Minimalism membawa gua ke sebuah kesimpulan menarik. Konsumerisme yang berlebihan pada akhirnya akan membawa kita kepada sebuah distraksi, dan pada akhirnya distraksi tersebut secara perlahan akan merugikan kita.

Sebagian besar yang baca sampai saat ini mungkin baru sadar akan seberapa banyak ‘barang’ yang lo miliki, mulai dari clothing, sneakers ataupun hal lain yang menjadi hobby lo dan sampai pada titik menyesal.

Well it’s 2020, but I think Minimalism is still ‘Applicable’. Bukan berarti saat lo memutuskan untuk menjadi ‘minimalist‘, semua barang harus lo buang. The simple things yang bisa lo lakuin adalah ;

  • sort your things, and only keep things that
  • less consumerism
  • buy what you need not what you want

Itu 3 basic things to work on, tapi pastinya experience setiap orang mengenai ‘minimalism‘ pasti berbeda, tujuan akhirnya bukan berlomba-lomba soal ‘berapa sedikit’ jumlah barang lo, tapi finding your own freedom in minimalism. Wether in finance, depression or other things that used to take ‘space’ in us.